Hadits Ghairu Masyhur

al-Qur’an disamping sebagai sumber hukum utama Islam, juga menjadi pedoman dan pegangan hidup muslim dalam menjalani kehidupan. Rasulullah Saw. sebagai pembawa risalah sekaligus sebagai ‘penerjemah’ bahasa al-Qur’an melalui hadits-hadits beliau yang jika ditinjau melalui ilmu mushthalah hadits menjadi sangat beragam.
Jika ditinjau dari cara hadits itu sampai pada kita, maka hadits terbagi menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits ahad secara garis besar oleh ulama hadits dibagi menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Ghairu masyhur terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu hadits ‘aziz dan hadits gharib.[i]

Dalam tulisan ini secara singkat akan dideskripsikan tentang hadits ghairu masyhur dalam beberapa pembahasan; definisi hadits ghairu masyhur, macam-macamnya, contoh-contohnya, hukum-hukumnya, dan beberapa kitab yang secara spesifik membahas tentang hadits ini.

DEFINISI HADITS GHAIRU MASYHUR

Dari beberapa referensi yang penyusun baca tidak ditemukan pendefinisian hadits ghairu masyhur. Akan tetapi, pendefinisian ini masih bisa dilakukan melalui telaah definisi hadits masyhur.
مَا رَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَ وَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih (dalam satu thabaqahnya/ tingkatannya), namun belum mencapai derajat mutawatir.
مَا لَهُ طُرُقٌ مَحْصُوْرَةٌ بِأَكْثَرَ مِنَ اثْنَيْنِ
Hadits yang mempunyai jalan terhingga, tetapi lebih dari dua jalan.[ii]

Kata ghairu dalam bahasa Arab berarti tidak, bukan, atau selain. Maka, secara harfiah hadits ghairu masyhur adalah hadits yang tidak terkenal (masyhur). Jadi, hadits ghairu masyhur adalah hadits yang bukan atau selain hadits masyhur. Dengan kata lain, hadits ghairu masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh kurang dari tiga orang rawi (dalam satu thabaqahnya/tingkatannya), dan belum mencapai derajat hadits mutawatir.

PEMBAGIAN HADITS GHAIRU MASYHUR

Sebagaimana dipaparkan dalam pendahuluan, bahwa hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua; hadits ‘aziz dan hadits gharib.

A. HADITS 'AZIZ

Definisi Hadits ‘Aziz
Secara bahasa, kata ‘aziz adalah bentuk derivasi (tashrif) dari ‘azza ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang. Atau juga bisa diambil dari kata ‘azza ya’azzu yang berarti kuat atau sangat. Disebut hadits ‘aziz bisa jadi karena jumlah hadits ini yang cukup sedikit dan jarang[iii], atau karena hadits tersebut bisa menjadi kuat dengan diriwayatkan minimal oleh dua orang periwayat saja[iv].
Secara definitif, hadits ‘aziz adalah:
أَنْ لَا يَقِلَّ رُوَاتُهُ عَنِ اثْنَيْنِ فِيْ جَمِيْعِ طَبَقَاتِ السَّنَدِ
Hadits yang pada semua thabaqah sanadnya tidak kurang dari dua orang perawi.[v]
Definisi diatas menunjukkan bahwa pada tiap tingkatan sanad hadits ‘aziz tidak kurang dari dua orang periwayat. Karena itu, jika pada salah satu tingkatan sanadnya terdapat tiga orang periwayat atau lebih, maka tetap dinamakan hadits ‘aziz.
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, hadits ‘aziz adalah:
وَهُوَ مَا اِنْفَرَدَ بِرِوَايَتِهِ عَنْ رَاوِيْهِ اثْنَانِ فَلَا يَرْوِيْهِ أَقَلُّ مِنَ اثْنَيْنِ عَنِ اثْنَيْنِ
Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang periwayat sehingga tidak diriwayatkan oleh kurang dari dua orang periwayat dari dua orang periwayat.[vi]
Dalam pendefinisian yang lain disebutkan:
الْخَبَرُ الَّذِيْ يَرْوِيْهِ جَمَاعَةٌ عَنْ جَمَاعَةٍ غَيْرَ أَنَّ عَدَدَهَا فِيْ بَعْضِ الطَّبَقَاتِ يَكُوْنُ اثْنَيْنِ فَقَطْ
Hadits yang diriwayatkan oleh segolongan rawi dari segolongan rawi yang terdiri atas dua orang saja.[vii]
Dengan memperhatikan definisi di atas yang disebut hadits ‘aziz itu bukan saja hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqah-nya, tetapi selama pada salah satu thabaqah didapati dua orang rawi, hadits tersebut juga dinamakan hadits ‘aziz[viii]. Oleh karena itu, Ibn Hibban beranggapan bahwa periwayatan oleh dua orang dari dua orang – dari awal hingga akhir sanad – sama sekali tidak dapat kita jumpai[ix].

Beberapa Contoh Hadits ‘Aziz
Berikut ini adalah contoh hadits ‘aziz[x]:
  • Hadits ‘aziz pada thabaqah pertama:
نَحْنُ الْأٰخِرُوْنَ السَّابِقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Kami adalah orang-orang terakhir di dunia, dan terdahulu pada hari kiamat.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat, yakni Hudzaifah bin al-Yaman dan Abu Hurairah (thabaqah pertama). Hadits tersebut pada thabaqah kedua sudah menjadi masyhur sebab melalui periwayatan Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan oleh tujuh orang, yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, al-‘Araj, Abu Shalih, Humam, dan Abdurrahman.
  • Hadits ‘aziz pada thabaqah kedua:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتّٰى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada orang tua, anaknya, dan manusia semuanya.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat, yaitu Anas dan Abu Hurairah (thabaqah pertama), dari Anas diriwayatkan oleh dua orang, yaitu Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib (thabaqah kedua), dari Shuhaib diriwayatkan dua orang, yaitu Isma’il bin Ulaiyah dan Abdul Warits bin Sa’id (thabaqah ketiga), dan dari masing-masing diriwayatkan oleh jama’ah. Sanad hadits di atas dapat digambarkan dalam bagan berikut[xi]:

Hukum Hadits ‘Aziz
Hukum hadits ‘aziz adakalanya shahih, hasan, dan dha’if tergantung persyaratan yang terpenuhi, apakah memenuhi seluruh kriteria persyaratan hadits shahih atau tidak. Jika memenuhi segala persyaratannya berarti berkualitas shahih, dan jika tidak memenuhi sebagian atau seluruh persyaratannya, maka tergolong hadits hasan atau dha’if [xii].
Para ulama belum ada yang menulis kitab yang secara spesifik membahas atau menghimpun hadits-hadits ‘aziz, hal ini lebih disebabkan karena sangat sedikitnya jumlah hadits yang masuk dalam kategori ini[xiii].

B. HADITS GHARIB

Definisi Hadits Gharib
Kata gharib adalah bentuk sifat musyabbihah yang secara harfiah berarti menyendiri atau jauh dari kerabat[xiv].
Di samping kata gharib dikenal pula kata fard yang menurut sebagian ulama hadits keduanya sinonim seperti kata: تَفَرَّدَ بِهِ فُلَانٌ تَارَةً (kadang-kadang si fulan sendirian dalam suatu ketika) dan أَغْرَبَ بِهِ فُلَانٌ تَارَةً أُخْرٰى (si fulan menyendiri dalam suatu saat yang lain). Mahmud at-Thahhan menyatakan bahwa di kalangan ulama, hadits gharib disebut juga hadits fard karena keduanya sinonim. Akan tetapi, ada pula ulama yang membedakan antara keduanya[xv].
Secara definitif, hadits gharib adalah:
مَا يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ
Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi[xvi].
مَا اِنْفَرَدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ فِيْ أَيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَّفَرُّدُ بِهِ مِنَ السَّنَدِ
Hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi[xvii].
Penyendirian rawi tersebut dapat terjadi:
  • mengenai personalianya, yaitu tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadits tersebut, selain rawi itu sendiri.
  • mengenai sifat atau keadaan rawi, artinya sifat atau keadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawirawi yang lain yang meriwayatkan hadits tersebut.[xviii]

Pembagian Hadits Gharib
Berdasarkan bentuk penyendirian tersebut, hadits gharib terbagi menjadi dua macam:
Hadits Gharib Mutlaq, yaitu hadits yang terdapat penyendirian.
الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ
Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang. Malu itu salah satu cabang dari iman.

Hadits tersebut diterima oleh Abu Hurairah (sahabat), lalu hanya diterima oleh Abu Shalih (tabi’in), kemudian hanya diterima oleh ‘Abdullah ibn Dinar (tabi’it tabi’in), yang darinya hanya diriwayatkan oleh Sulaiman bin Bilal, dan kemudian diterima oleh Abu Amir. Setelah dari Abu Amir, hadits tersebut diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin Sa’id dan ‘Abd bin Humaid yang dari keduanya, kemudian diterima oleh Muslim.[xix]

Contoh lain hadits gharib mutlaq:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Keabsahan perbuatan itu tergantung niatnya.
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab saja[xx].
Hadits Gharib Nisbi, yaitu hadits yang terdapat penyendirian dalam sifat atau keadaan tertentu seorang rawi.
  • Penyendirian tentang sifat keadilan, kedhabitan, dan ketsiqqahan rawi. Contoh:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص. م. يَقْرَأُ فِي الْأَضْحٰى وَالْفِطْرِ بِق وَالْقرْاٰنِ الْمَجِيْدِ وَاقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
Rasulullah Saw. pada hari Raya Qurban dan hari Raya Fitri membaca surat Qaaf dan surat al-Qamar. (HR. Muslim)
  • Penyendirian tentang kota atau tempat tinggal tertentu, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para rawi dari kota/daerah tertentu. Misalnya, Basrah, Kufah atau Madinah saja. Contoh:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
Rasulullah Saw. memerintahkan kita agar membaca al-Fatihah dan surat yang mudah dari al-Qur’an. (HR. Abu Dawud)
Hadits ini diterima oleh Abu Dawud dari Abu Walid at-Thayalisi dari Hamam dari Qatadah dari Abu Nasharah dan Sa’id yang kesemuanya berasal dari Basrah.
  • Penyendirian tentang meriwayatkannya dari rawi
    Contoh:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَوْلَــمَ عَلٰى صَفِيَّةَ بِسَوْبِقٍ وَتَـمَرٍ
Sesungguhnya Nabi Saw. mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan jamuan makanan yang terbuat dari tepung gandung dan kurma.
Dalam sanad hadits tersebut, terdapat seorang rawi bernama Wa’il yang meriwayatkan hadits tersebut dari anaknya (Bakar bin Wa’il), sedangkan perawi yang lain tidak meriwayatkan demikian.[xxi]
Jika ditinjau dari sanad dan matan, hadits gharib dibagi menjadi:[xxii]
  1. Hadits gharib matan dan sanadnya, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
  2. Hadits gharib sanadnya saja bukan matannya, yaitu hadits yang matannya (isi haditsnya) diriwayatkan oleh beberapa rawi dari sahabat, lalu ada seorang rawi yang seorang sahabat yang lain.

Hukum Hadits Gharib

Hadits gharib ada yang shahih, hasan, atau dha’if dan ada pula yang maudhu’ (palsu) tergantung pada kualitas sanad dan matannya. Jika suatu hadits gharib memenuhi semua syarat hadits shahih, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqqah, dan terlepas dari syadz dan ‘illat, maka hadits gharib itu shahih. Tetapi, jika syarat-syarat itu terpenuhi namun salah seorang periwayatnya ada yang kurang dhabith, maka hadits itu dinyatakan sebagai hasan. Demikian pula, jika suatu hadits gharib bertentangan dengan hadits dengan kualitas yang sama dan tidak mungkin dilakukan kompromi satu dengan yang lain, maka hadits gharib itu dinamakan hadits mudhtharib.
Jika hadits gharib diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqqah tetapi bertentangan dengan riwayat dari periwayat yang lebih tsiqqah, maka hadits itu dinamakan hadits syadz (janggal). Apabila periwayat pada hadits gharib itu dha’if dan bertentangan dengan hadits dari periwayat yang tsiqqah, maka hadits itu dinamakan hadits munkar[xxiii].

Cara Menetapkan Keghariban Hadits

Untuk menetapkan suatu hadits itu gharib, harus diperiksa dahulu pada kitab-kitab hadits, apakah hadits tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid. Cara ini dinamakan i’tibar.
Dalam istilah ilmu hadits, mutabi’ ialah:
الْحَدِيْثُ الَّذِيْ قَدْ تَابَعَ رِوَايَةَ غَيْرِهِ عَنْ شَيْخِهِ أَوْ شَيْخِ شَيْخِهِ
Hadits yang mengikuti periwayatan orang lain sejak pada gurunya (yang terdekat) atau gurunya guru (yang terdekat itu).
Mutabi’ ada dua macam:
  1. Mutabi’ tam, ialah bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
  2. Mutabi’ qashir, ialah bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang terjauh.
Syahid ada dua macam:
  1. Syahid billafdzi, yaitu bila matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan hadits fard-nya.
  2. Syahid bilma’na, yaitu bila matan hadits yang diriwayatkan tidak oleh sahabat yang lain itu hanya sesuai dengan maknanya secara umum.
Apabila setelah dilakukan i’tibar ternyata tidak ditemukan ada mutabi’ (sanad lain) atau syahid (matan lain) dari suatu hadits, maka hadits tersebut adalah hadits gharib.[xxiv]

Beberapa Karya Ulama tentang Hadits Gharib

Ada beberapa kitab yang didalamnya banyak ditemukan hadits-hadits gharib antara lain kitab Musnad al-Bazzar, kitab al-Mu’jam al-Ausath karya at-Thabrani. Sedangkan kitab-kitab yang secara spesifik mengupas tentang hadits-hadits gharib antara lain kitab Ghara’ib Malik dan al-Afrad yang merupakan karya ad-Daruquthni, kitab as-Sunan Allati Tafarada Bikulli Sunnah Minha Ahl Baladah karya Abu Dawud as-Sujastani[xxv], kitab Athraf al-Gharaib wa al-Afrad karya Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, kitab al-Ahadits as-Shihhah al-Gharaib karya Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi as-Syafi’i[xxvi].


PENUTUP

Hadits ghairu masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh kurang dari tiga orang rawi (dalam satu thabaqahnya/tingkatannya), dan belum mencapai derajat hadits mutawatir. Hadits ghairu masyhur terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu hadits ‘aziz dan hadits gharib.
  1. Hadits ‘Aziz Hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan rawi dari segolongan rawi yang terdiri atas dua orang saja. Hukum hadits ‘aziz adakalanya shahih, hasan, dan dha’if tergantung persyaratan yang terpenuhi, apakah memenuhi seluruh kriteria persyaratan hadits shahih atau tidak. Tentang kitab yang secara spesifik membahas atau menghimpun hadits-hadits ‘aziz, belum ditemukan karena hal ini lebih disebabkan sangat sedikitnya jumlah hadits yang masuk dalam kategori ini.
  2. Hadits Gharib Hadits gharib adalah hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. Berdasarkan bentuk penyendirian, hadits gharib terbagi menjadi dua macam, yaitu hadits gharib mutlaq, dan hadits gharib nisbi. Jika ditinjau dari sanad dan matan, hadits gharib dibagi menjadi hadits gharib matan dan sanadnya, dan hadits gharib sanadnya saja bukan matannya. Hadits gharib ada yang shahih, hasan, atau dha’if dan ada pula yang maudhu’ (palsu) tergantung pada kualitas sanad dan matannya. Dan untuk menetapkan suatu hadits itu gharib, harus diperiksa dahulu pada kitab-kitab hadits, apakah hadits tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid. Cara ini dinamakan i’tibar. Ada beberapa kitab yang didalamnya banyak ditemukan hadits-hadits gharib antara lain kitab Musnad al-Bazzar, kitab al-Mu’jam al-Ausath karya at-Thabrani.
    Sedangkan kitab-kitab yang secara spesifik mengupas tentang hadits-hadits gharib antara lain kitab Ghara’ib Malik dan al-Afrad yang merupakan karya ad-Daruquthni, kitab as-Sunan Allati Tafarada Bikulli Sunnah Minha Ahl Baladah karya Abu Dawud as-Sujastani, kitab Athraf al-Gharaib wa al-Afrad karya Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, kitab al-Ahadits as-Shihhah al-Gharaib karya Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi as-Syafi’i.
====================

DAFTAR RUJUKAN

‘Itr, Dr. Nuruddin. Ulumul Hadits: al-Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Cet. II. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012.
at-Thahhan, Dr. Mahmud. Taisir Mushthalah al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun.
Idri, Dr. M.Ag. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.
Khaeruman, Dr. Badri, M.Ag. Ulum al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Khon, Dr. H. Abdul Majid, M.Ag. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2012.
Misbah AB. Mutiara Ilmu Hadits. Kediri: Mitra Pesantren, 2010.
Nasri, M. “Kehujjahan Hadis Ahad Menurut Mazhab Suni dan Syi’ah”. Jurnal al-Fikr. Vol. 14. No. 3, 2010,Ranuwijaya Utang, Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.




Endnote

[i] M. Nasri Hamang, “Kehujjahan Hadis Ahad Menurut Mazhab Suni dan Syi’ah”, Jurnal al-Fikr, vol. 14, (no. 3, 2010), h. 412; Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 138.
[ii] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag, Ulum al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 100.
[iii] Dr. Mahmud at-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 24.
[iv] Misbah AB., Mutiara Ilmu Hadits, (Kediri: Mitra Pesantren, 2010), h. 181.
[v] Ibid.
[vi] Dr. Idri, M.Ag., Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 147.
[vii] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag, op.cit, h. 103.
[viii] Ibid.
[ix] Dr. Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits: al-Manhaj an-Naqd Fi Ulum al-Hadits, terj. Drs. Mujiyo, (Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), h. 444.
[x] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag, op.cit, h. 103-104.
[xi] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 159.
[xii] Ibid, h. 160.
[xiii] Dr. Mahmud at-Thahhan, op.cit., h. 24.
[xiv] Ibid, h. 25.
[xv] Dr. Idri, M.Ag., op.cit., h. 149. Lihat juga Mahmud at-Thahhan, op.cit., h. 25.
[xvi] Dr. Idri, M.Ag., op.cit., h. 149.
[xvii] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag, op.cit., h. 105.
[xviii] Ibid.
[xix] Ibid, h. 105-107.
[xx] Mahmud at-Thahhan, op.cit., h. 26.
[xxi] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag, op.cit., h. 106.
[xxii] Mahmud at-Thahhan, op.cit., h. 27.
[xxiii] Dr. Idri, M.Ag., op.cit., h. 153.
[xxiv] Dr. Idri, M.Ag., op.cit., h. 153.
[xxv] Mahmud at-Thahhan, op.cit., h. 27.
[xxvi] Dr. Idri, M.Ag., op.cit., h. 153.